Text
tersesat di Jalan yang Benar: Pergumulan Seorang Guru
Akhir-akhir ini kritik terhadap guru demikian kuat. Guru dianggap tidak lagi menjadi pihak yang bisa ‘digugu’ dan ‘ditiru’. Tak lagi bisa diturut dan diteladani. Mereka hanya peduli kepada capaian hasil ujian nasional atau nilai ujian akhir sekolah murid-muridnya. Hal ini memang bukan kesalahan guru semata. Sistim pendidikan yang ada memang menuntut guru untuk menjadi pengajar materi yang akan diujikan oleh sekolah atau secara nasional saja. Keberhasilan guru dinilai dari nilai-nilai rapor/nilai ujian nasional. Kesalahan juga ada pada orangtua murid yang menuntut guru untuk ‘mengajar’ anaknya menjadi siswa-siswa yang mempunyai nilai mata pelajaran yang baik. Apapun caranya. Yang penting nilai anaknya di rapor dan ijasah menujukkan angka-angka yang mendekati 10. Angka adalah menjadi ultimate goal dari sekolah.rnrnDengan padatnya materi yang harus disampaikan dan tuntutan ‘keberhasilan’ yang demikian kuat dari Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan dan orangtua, maka sadar tidak sadar banyak guru yang kemudian ‘tergiring’ kepada ‘kekeliruan’ tersebut. Mereka lupa bahwa tujuan pembelajaran di sekolah adalah untuk mengembangkan potensi diri si anak, seperti yang tertera pada Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional berikut ini:rnrnPendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. rnrnDi tengah kegalauan akan jalannya pendidikan tersebut, masih banyak guru yang peduli akan pentingnya pendidikan secara menyeluruh. Salah satu dari beberapa guru yang peduli kepada pentingnya pendidikan yang menyeluruh tersebut adalah Wesiati.rnrnMenjadi guru adalah sebuah proses “tersesat di jalan yang benar”, Wesiati membangun nilai-nilai sebagai guru. Dia tidak segan untuk berlaku keras, ngambeg, marah. Namun dia juga tidak malu untuk meminta maaf kepada muridnya jika dia bersalah.rnrnDia mengajar bukan hanya dengan metode konvensional – di depan kelas. Tapi dia menggunakan berbagai cara untuk menyampaikan ‘pesan’. Dia menggunakan (1) silent time, (2) dream book, (3) debate club, disamping mengajar di depan kelas. Dia juga secara aktif berhubungan dengan murid-muridnya melalui media facebook. Nomor hp-nya dibagikan kepada murid dan orangtua murid, sehingga kapanpun muridnya menghadapi kesulitan (bukan hanya masalah pelajaran) maka si murid tersebut bisa menghubunginya. Demikian pula dengan orangtua murid yang merasa ada masalah dengan anaknya, bisa segera menghubungi Wesiati.rnrnBuku ini adalah kesaksian Wesiati sebagai seorang guru yang galau. Dia mengisahkan bagaimana dia membangun diri sebagai guru; belajar cara-cara baru dalam mengajar; masalah-masalah yang dihadapi sebagai guru yang mencoba memerhatikan murid-muridnya. Dalam buku ini, Wesiati juga bercerita tentang murid-muridnya secara individu. Permasalahan dan keberhasilan yang mereka hadapi. Proses perkembangan dan pertumbuhan murid-murid melalui proses bersamanya di dalam kelas maupun di luar kelas.rnrnSebagai seorang manusia – dan perempuan, Wesiati sering merasa bahwa ‘beban’ yang ditanggungnya terlalu berat. Namun beruntunglah dia mempunyai murid-murid, sahabat-sahabat yang mendukung dia. Bahkan Izza – anaknya, sering menjadi salah satu ranting yang penuh daun dimana dia bisa berteduh saat cobaan mendera.rnrnSemoga lebih banyak guru yang peduli kepada murid-muridnya sebagai individu yang berkembang. Buku ini bisa menjadi inspirasi bagi para pendidik untuk secara kreatif memfasilitasi murid-muridnya mencapai keberhasilan sebagai manusia.
B00112 | 370.154 WES t | (300) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain