Fiksi
Granada: Genosida Kebudayaan di Andalusia
Abu Jaafar hanya bisa mengurut dada tatkala serdadu-serdadu Castile menggelar semacam upacara' api unggun di lapangan Bab el Ramlah.rnrnApi yang berkobar tidak sedang membakar tumpukan kayu kering sebagaimana pesta api unggun biasa, tapi membakar ratusan kitab yang ditumpuk hingga membukit di tengah lapangan itu. Badan Inkuisisi Granada merampas semua kitab berbahasa Arab dari mesjid-mesjid yang telah mereka sulap menjadi Gereja dan Katedral, dari perpustakaan sekolah, dari rumah-rumah warga Granada yang gemar membaca dan mengoleksi kitab.rnrnBila ingin selamat, segeralah hengkang dari Granada, atau lekaslah memurtadkan diri, serahkan diri pada Gereja untuk dibaptis menjadi kristiani. Tapi, anak cucu Abu Jaafar tetap bertahan di Granada, bertahan menjadi muslim. Begitu piawai mereka berperan ganda, di dalam rumah mereka shalat, berbahasa Arab, tapi di luar rumah mereka berbahasa Castile, menggunakan nama baptis, juga menghadiri misa suci. Tapi sampai kapan Saleemah, Saad, Hassan, Mariama, dan semua keturunan Abu Jaafar bisa bertahan dalam situasi kemenduaan yang sangat merisaukan itu?rnrnSaleemah tak peduli dengan kebengisan penguasa. Setelah suaminya dipenjara, ia sibuk meracik pelbagai ramuan obat yang diperolehnya dari berbagai kitab. Banyak pasien sembuh di tangannya. Tapi suatu hari, Badan Inkuisisi Granada menggeledah rumahnya. Saleemah diringkus. Bukan karena ia istri Saad (pemberontak yang sudah dibekuk), tapi karena ia terbukti menyembunyikan kitab-kitab berbahasa Arab, dan tuduhan yang lebih fatal adalah praktek sihir jahat dengan barang bukti pelbagai ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian. Hukumannya dibakar hidup-hidup."
B02722 | 813 RAD g | (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain