Fiksi
CENTHINI 3 : Malam Ketika Hujan
“Ketahuilah, Kisanak! Membatik sesungguhnya tidak berbeda dengan melakukan saresmi . Tidak cukup diajarkan dengan kata-kata. Tapi, melalui perbuatan nyata yang dilandasi rasa dari lubuk hati paling dalam. Hingga terjadinya perkawinan sempurna antara kain mori dan canthing yang berisikan cairan lilin. Karenanya pejamkan kedua mata Kisanak. Mori putih akan segera aku bentang.”rn***rnNovel yang sangat seru ini mengupas sepenuhnya petualangan tokoh Cebolang yang ditemani Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti. Dan, bila dibandingkan dengan pengembaraan Syekh Amongraga yang cenderung filosofis, petualangan Cebolang niscaya jauh lebih heboh karena membawa kita pada pengetahuan yang sangat luas, tidak hanya persoalan filosofis, bahkan juga masalah seksualitas dan keduniawian. Dua hal tabu, namun realitasnya tumbuh subur di negeri kita! engan teknik alur mundur, Cebolang yang telah menemukan jodohnya dengan Niken Rancangkapti, adik Syekh Amongraga, terseret arus kenangan lamanya, saat ia mulai bertualang dari Padepokan Sokayasa, di kaki Gunung Bisma dan berakhir di Goa Sigala. Tempat demi tempat pun ia singgahi. Dari segudang pengembaraan itulah, kita diajak mengikuti kisah-kisah unik, mencengangkan, kadang merangsang, namun sarat renungan yang sangat berharga. Sungguh sebuah novel yang begitu eksotik, layak Anda baca!rnrn“Daratan sudah tampak di depan mata, Sayang. Bukakan lebar-lebar lubang bumimu! Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit. Sebagaimana hujan yang tumpah tiba-tiba di luar.”
B01625 | 813 GAN c | (800) | Tersedia |
F00091 | 813 GAN c | (800) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain